|
Lintasarta

Tantangan Bisnis Kartu Kredit untuk Bank Buku 2 dan 3

Kartu KreditLintasarta TCPMLintasarta Third Party Card ManagementTCPM

 

Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga hari ini telah memberi dampak besar kepada perekonomian global, khususnya di Indonesia yang juga disebut dengan Resesi Ekonomi RI. Data yang dikeluarkan oleh BI dan mengutip dari Kontan.co.id, jumlah kartu kredit yang diterbitkan di Maret 2021 turun menjadi 16,76 juta atau 4,78% Year on Year (YoY). Ini mencatatkan adanya penurunan transaksi kartu kredit hingga 21% YoY (66,22 juta) di kuartal satu 2021.

Melihat penurunan ini, tantangan bisnis kartu kredit untuk bank buku 2 dan 3 akan terus dihadapi hingga pandemi Covid-19 berakhir. Selain fakta di atas, kemungkinan penurunan terjadi juga disebabkan karena adanya persaingan ketat sejak semakin marak perusahaan Financial Technology (Fintech) yang bermunculan dan menawarkan solusi paylater.

Baca juga: Kartu Kredit, Kunci Partisipasi Bank dalam Ekonomi Digital

Meskipun demikian, Bain & Company dalam laporan e-Conomy SEA 2020 meramalkan ekonomi digital Indonesia akan terus tumbuh pesat, hingga US$ 124 miliar pada 2025. Ini terjadi karena adanya kenaikan 11% ekonomi digital Indonesia di tahun 2020 atau mencapai US$ 44 miliar, melebihi US$ 40 miliar pada tahun 2019.

Tantangan yang semakin nyata

Persaingan dan hambatan yang dihadapi bank buku 2 dan 3 tidak baru-baru ini dialami karena pandemi Covid-19 atau munculnya perusahaan Fintech. Terdapat 3 hal utama yang selalu membebankan bank buku 2 dan 3 dalam mengembangkan bisnis kartu kredit. Simak penjelasannya berikut:

  1. Investasi awal
    Bukan rahasia umum lagi, bisnis kartu kredit memerlukan modal awal yang besar. Contohnya untuk memiliki infrastruktur yang andal seperti mesin AS400 untuk database management system, server aplikasi, jaringan, perangkat lunak yang bersertifikasi dan memenuhi syarat, hingga sistem keamanan. Demi kelancaran bisnis kartu kredit bank, maka pelaku bisnis perlu memikirkan matang-matang modal awal yang akan dikeluarkan untuk pengadaan infrastruktur yang tidak ‘ecek-ecek’ agar dapat digunakan dengan baik.
  2. Biaya operasional
    Proses operasional bisnis kartu kredit tidak dapat dikatakan sederhana. Mulai dari penerbitan kartu kredit, pencatatan transaksi, hingga penanganan penipuan atau fraud sudah menjadi tanggung jawab perusahaan perbankan yang tentunya akan memakan banyak biaya. Terlepas dari permasalahan yang baru saja disebutkan, bank buku 2 dan 3 juga memerlukan teknisi hingga analis dengan kepiawaian tinggi, tentu saja tidak murah.
  3. Kepemilikan data nasabah
    Permasalahan ketiga memiliki korelasi dengan 2 masalah sebelumnya di atas. Karena tingginya investasi awal dan biaya operasional yang tidak murah, banyak bank-bank dengan kepemilikan modal inti rendah seperti bank buku 2 dan 3 mengembangkan bisnis kartu kredit tidak secara mandiri. Sebagai gantinya, bank tersebut memanfaatkan kartu kredit co-brand. Kartu kredit co-brand adalah kartu kredit yang menggabungkan merek-merek tertentu untuk jenis kartu yang dikeluarkannya.
    Praktik ini pada akhirnya memberikan keterbatasan bagi bank kartu kredit co-brand, yaitu tidak dapat mengelola data secara mandiri dan kemungkinan berdampak pada kesempatan untuk memberikan berbagai penawaran.

Baca juga: Bagaimana Manajemen Data Kartu Kredit Co-Brand?

Menilik tiga permasalahan di atas, bank buku 2 dan 3 memerlukan solusi yang dapat membantu dalam mengembangkan bisnis kartu kredit, terutama melihat ekonomi digital di Indonesia yang semakin melejit dan dapat dijadikan peluang bagi lembaga keuangan dan perbankan untuk menambah lini bisnis mereka.

Solusi bisnis kartu kredit untuk bank buku 2 dan 3

Memahami persoalan yang dihadapi bank buku 2 dan 3, Lintasarta menghadirkan layanan Lintasarta Third Party Card Management (TPCM). Lintasarta TPCM adalah solusi lengkap untuk pengembangan bisnis proses produk kartu kredit yang melingkupi layanan aktivasi, transaksi, pembuatan tagihan, hingga pengawasan dari fraud.

Dengan layanan Lintasarta TPCM, bank dapat menekan dana yang dibutuhkan untuk investasi (mesin, software card management, dan infrastruktur lainnya), dan cukup membayar biaya operasional yang relatif rendah. Dengan intensifnya penggunaan kartu kredit dalam ekonomi digital, bank berpeluang memperoleh sumber pendapatan baru (bunga dan fee-based) yang akan tumbuh pesat. Karena dalam layanan ini, bank memiliki data nasabahnya sendiri, bank dapat menggunakannya untuk pengembangan produk lebih lanjut.

Tidak hanya itu, agar tetap dapat bersaing dengan layanan paylater, bank buku 2 dan 3 melalui Lintasarta TPCM dapat menghadirkan layanan Digital Credit Card sehingga calon pengguna kartu kredit tidak perlu lagi melakukan transaksi menggunakan kartu fisik.

Satu hal penting untuk dicatat, Lintasarta TPCM dilengkapi dengan sistem keamanan yang andal. Mengingat Lintasarta merupakan perusahaan penyedia Data Center lokal di Indonesia, seluruh infrastruktur penunjang telah tersertifikasi oleh PCI DSS, sehingga data dari setiap transaksi maupun data terkait kartu kredit yang lainnya akan terjaga dengan baik.

Fitur-fitur lain yang melengkapi Lintasarta TPCM di antaranya adalah Card Issuance Management, Merchant and Transaction Acquiring, Security Access Management hingga Website Card Management System. Jika Anda tertarik menggunakan  Lintasarta Third Party Card Management, Anda dapat menghubungi kami untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.

Tantangan Bisnis Kartu Kredit untuk Bank Buku 2 dan 3

Persaingan dan hambatan yang dihadapi bank buku 2 dan 3 tidak baru-baru ini dialami karena pandemi Covid-19 atau munculnya perusahaan Fintech. Terdapat 3 hal utama yang selalu membebankan bank buku 2 dan 3 dalam mengembangkan bisnis kartu kredit. Simak penjelasannya berikut:

  1. Investasi awal
    Bukan rahasia umum lagi, bisnis kartu kredit memerlukan modal awal yang besar. Contohnya untuk memiliki infrastruktur yang andal seperti mesin AS400 untuk database management system, server aplikasi, jaringan, perangkat lunak yang bersertifikasi dan memenuhi syarat, hingga sistem keamanan. Demi kelancaran bisnis kartu kredit bank, maka pelaku bisnis perlu memikirkan matang-matang modal awal yang akan dikeluarkan untuk pengadaan infrastruktur yang tidak ‘ecek-ecek’ agar dapat digunakan dengan baik.
  2. Biaya operasional
    Proses operasional bisnis kartu kredit tidak dapat dikatakan sederhana. Mulai dari penerbitan kartu kredit, pencatatan transaksi, hingga penanganan penipuan atau fraud sudah menjadi tanggung jawab perusahaan perbankan yang tentunya akan memakan banyak biaya. Terlepas dari permasalahan yang baru saja disebutkan, bank buku 2 dan 3 juga memerlukan teknisi hingga analis dengan kepiawaian tinggi, tentu saja tidak murah.
  3. Kepemilikan data nasabah
    Permasalahan ketiga memiliki korelasi dengan 2 masalah sebelumnya di atas. Karena tingginya investasi awal dan biaya operasional yang tidak murah, banyak bank-bank dengan kepemilikan modal inti rendah seperti bank buku 2 dan 3 mengembangkan bisnis kartu kredit tidak secara mandiri. Sebagai gantinya, bank tersebut memanfaatkan kartu kredit co-brand. Kartu kredit co-brand adalah kartu kredit yang menggabungkan merek-merek tertentu untuk jenis kartu yang dikeluarkannya.

    Praktik ini pada akhirnya memberikan keterbatasan bagi bank kartu kredit co-brand, yaitu tidak dapat mengelola data secara mandiri dan kemungkinan berdampak pada kesempatan untuk memberikan berbagai penawaran.

Menilik tiga permasalahan di atas, bank buku 2 dan 3 memerlukan solusi yang dapat membantu dalam mengembangkan bisnis kartu kredit, terutama melihat ekonomi digital di Indonesia yang semakin melejit dan dapat dijadikan peluang bagi lembaga keuangan dan perbankan untuk menambah lini bisnis mereka.

Berita Lainnya

Layanan ‘one stop solution’ untuk perkembangan bisnis Anda!