Sejarah uang di tanah air dimulai dengan penerbitan alat pembayaran tunai, yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) pada 30 Oktober 1946. Hari ini kemudian diperingati sebagai hari keuangan nasional. Setelah penerbitan ORI, eksistensi rupiah sebagai alat pembayaran yang sah semakin diakui, menggusur mata uang lain yang sebelumnya beredar.
Namun uang tunai, baik yang berbentuk uang kertas maupun logam, tidak lagi menjadi satu-satunya alat yang dapat diterima dan digunakan. Pada saat ini, alat pembayaran nontunai semakin berkibar.
Baca juga: Membandingkan Berbagai Alat Pembayaran Nontunai
Pada awalnya, alat pembayaran nontunai adalah berbasis kertas (paper based) seperti cek dan bilyet giro. Seiring berkembangnya teknologi, saat ini sudah dikenal juga pembayaran nontunai tanpa kertas (paperless), antara lain transfer dana elektronik, alat pembayaran kartu (kartu kredit, kartu debit), dan uang elektronik (baik yang berbasis chip/chip based maupun berbasis peladen/server based)
Berbagai survei terkini menunjukkan bahwa masyarakat semakin menggemari alat pembayaran nontunai. Survei Standard Chartered Bank pada 2020 bahkan menyebutkan 80% responden mengharapkan agar Indonesia sepenuhnya beralih menggunakan transaksi nontunai dan sebagian besar berharap ini bisa dilakukan sebelum 2025.
Mendorong Pembayaran Nontunai Sebelum 2025
Bank Indonesia (BI) sebenarnya telah mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) sejak 2014. Menurut BI, transaksi nontunai dapat memberikan serangkaian keuntungan, misalnya lebih mudah untuk transaksi dalam jumlah besar (karena tidak perlu membawa uang secara fisik), meminimalisir kendala dalam pembayaran tunai (misalnya uang tidak diterima karena keadaan fisik yang tidak layak), dan mengurangi kesalahan saat transaksi, seperti kesalahan hitung.
Seiring dengan kecenderungan masyarakat yang lebih menyukai transaksi nontunai, Bank Indonesia dalam blueprint sistem pembayaran nasional 2025 mendeskripsikan roadmap untuk alat pembayaran ritel yang berbasis teknologi digital.
Baca juga: Menilik Maraknya Penggunaan Kartu Kredit Digital
Bank Indonesia mendorong penggunaan berbagai jenis alat pembayaran yang sudah didigitalisasi, mulai dari transfer dana, kartu debit, kredit, dan uang elektronik. Transaksi digital menggunakan uang tunai (uang kertas maupun logam) bisa difasilitasi lewat keagenan (agent banking).
Bila pada awal masa kemerdekaan uang republik Indonesia hadir dalam bentuk mata uang kertas dan logam, di masa depan bisa jadi kita akan sulit menemukan rupiah dalam bentuk tunai seperti ini.
Mendorong Alat Pembayaran Nontunai dengan Lintasarta TPCM
Seiring dengan semakin ditinggalkannya uang tunai, sudah menjadi keharusan buat bank untuk menambahkan dukungan terhadap lebih banyak cara pembayaran nontunai. Bila kita membandingkan berbagai alat pembayaran nontunai, masing-masing memiliki kelebihan maupun kekurangan.
Namun kartu kredit merupakan opsi yang paling menarik buat nasabah, karena paling fleksibel dan dapat diintegrasikan dengan pembayaran nontunai lainnya. Bank yang ingin menawarkan produk kartu kredit dapat memanfaatkan jasa Lintasarta Third Party Card Management (TPCM).
Lintasarta TPCM memudahkan bank untuk menawarkan produk kartu kredit dengan biaya lebih terjangkau. Bank tidak perlu mengeluarkan investasi awal dengan jumlah yang besar, dan dapat menghemat biaya operasional. Data nasabah juga dapat dimiliki sendiri, tidak seperti skema kartu kredit co-brand.
Baca juga: Buy Now Pay Later, Ancaman atau Peluang untuk Kartu Kredit?
Nasabah bisa menggunakan alat pembayaran nontunai baik untuk transaksi daring maupun luring, serta diterima di seluruh dunia. Lintasarta TPCM terhubung secara langsung ke berbagai jaringan pembayaran internasional seperti VISA dan MasterCard. Sementara itu, bank akan memperoleh sumber pendapatan baru baik dari bunga maupun pungutan (fee). Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana Lintasarta TPCM bisa menambah pilihan produk pembayaran nontunai Anda, silakan hubungi kami.