|
Lintasarta

Kartu Syariah, Cara Lain Partisipasi Bank dalam Ekonomi Syariah Nasional

Ekonomi SyariahLintasarta TCPMTCPM

Secara global, ekonomi syariah cenderung tumbuh pesat. Deloitte memperkirakan, pada 2022 mendatang, aset keuangan ekonomi syariah global akan mencapai USD 3,78 triliun, yang merupakan peningkatan 72% dibandingkan tahun 2016 saat aset keuangan tersebut baru bernilai USD 2,2 triliun. Aset bank syariah mengalami kenaikan sebanyak 1,5% pada periode 2018-2019, sementara bank konvensional hanya tumbuh 1%.

Sementara itu di Indonesia, pasar ekonomi syariah masih relatif tertinggal dibandingkan negara-negara lain, misalnya negara jiran Malaysia dan Arab Saudi. Padahal potensinya cukup besar, mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Baca juga: Kartu Kredit dan Ekosistem Ekonomi Digital

Sebagai contoh, sukuk global tahun 2019 (berdasarkan domisili) didominasi Malaysia yang mengambil porsi 49,7%, dan Arab Saudi berada di urutan kedua dengan porsi sebanyak 20,6%. Sementara itu, Indonesia hanya mengambil bagian sebanyak 7,3% sukuk. Proporsi pada asset under management (AUM) untuk dana syariah juga dipimpin oleh Malaysia dan Arab Saudi, dan Indonesia hanya memiliki aset sebanyak 3,2% dari total.

Bank di Indonesia dapat berpartisipasi dalam penumbuhan ekonomi syariah nasional, dengan menawarkan lebih banyak jasa dan produk syariah. Ini tidak hanya termasuk tabungan dan investasi (saham, reksadana, sukuk), tetapi juga pinjaman dan kartu kredit syariah.

Karakteristik kartu syariah

Keberadaan kartu syariah di Indonesia diatur oleh fatwa Dewan Syariah Nasional tahun 2006 (Nomor 54/DSN- MUI/X/2006). Menurut fatwa ini, penggunaan kartu kredit syariah didasarkan kepada tiga perjanjian (akad), yaitu penjaminan atas transaksi dengan merchant (kafalah), pinjaman dana atas fasilitas penarikan uang tunai (qardh), dan sewa atas jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu (ijarah).

Pada kartu kredit syariah, bank tidak mengenakan bunga. Namun, bank dapat mengenakan biaya (fee) administrasi berdasarkan transaksi, serta biaya keanggotaan. Pada umumnya, biaya ini lebih murah dibandingkan bunga pada kartu kredit konvensional.

Baca juga: Tantangan Perpajakan dalam Era Ekonomi Digital

Bank juga dapat mengenakan denda bila pemilik kartu terlambat membayar cicilan. Denda tersebut akan disalurkan oleh bank sebagai sumbangan ke sektor sosial kemasyarakatan.

Peluang kartu kredit syariah dalam ekonomi digital

Ekonomi digital Indonesia berkembang pesat pada tahun 2020 lalu, meskipun secara keseluruhan ekonomi nasional berkontraksi. Laporan Bain and Company tahun 2020, menunjukkan kenaikan ekonomi digital Indonesia sebanyak 11% dibandingkan tahun sebelumnya. Diperkirakan pada tahun 2025 ekonomi digital Indonesia akan tumbuh sampai USD 124 miliar, berkembang dibandingkan US$ 44 miliar pada tahun 2020.

Data JP Morgan menunjukkan, 34% nilai transaksi perdagangan elektronik diraih oleh pembeli dengan kartu (debit ataupun kredit), disusul oleh transfer bank (26%). Ini menunjukkan, para pemilik kartu pembayaran di Indonesia sangat aktif berpartisipasi dalam perdagangan elektronik. Generasi muda juga lebih menyukai pembayaran nontunai, terutama kartu kredit. Ini pun menunjukkan, bank tidak dapat mengabaikan produk kartu pembayaran bila ingin memanfaatkan pertumbuhan ekonomi digital.

Kartu kredit syariah merupakan solusi menarik bagi nasabah yang menyukai kemudahan transaksi menggunakan kartu pembayaran konvensional, tetapi lebih memilih alternatif alat pembayaran yang memenuhi prinsip-prinsip syariah. Kartu kredit syariah didukung oleh penyedia jasa keuangan yang menjangkau seluruh dunia, seperti MasterCard dan VISA. Karena itu, pemilik kartu kredit syariah juga dapat berbelanja di mana saja. Namun, sesuai prinsip syariah, kartu ini tidak dapat digunakan untuk transaksi non-halal.

Bagi nasabah, kartu kredit syariah yang kemudahannya bersaing dengan kartu kredit konvensional dapat menjadi pintu perkenalan ke produk-produk ekonomi syariah lainnya. Pada gilirannya, penggunaan kartu kredit syariah yang semakin banyak dapat mendongkrak perkembangan ekonomi syariah nasional.

Saat ini peluang bagi Bank yang ingin mengeluarkan produk kartu kredit syariah terbuka lebar dengan memanfaatkan jasa Lintasarta TPCM (Third Party Card Management). Dengan layanan Lintasarta TPCM, bank dapat menekan dana yang dibutuhkan untuk investasi (mesin, software card management, dan infrastruktur lainnya), dan cukup membayar biaya operasional yang relatif rendah.

Khusus untuk kartu kredit syariah, solusi Lintasarta TPCM menyediakan beberapa fitur, yaitu akad, profit management, tenure, late charge handling, dan fixed profit. Selain itu untuk mencegah terjadinya transaksi yang dibenarkan hukum syariah, solusi Lintasarta TPCM menyediakan fitur Haram Transaction Monitoring.

Baca juga: Kartu Kredit, Kunci Partisipasi Bank dalam Ekonomi Digital

Dengan merilis produk kartu kredit syariah, bank berpeluang memperoleh sumber pendapatan baru dari biaya yang dipungut dari pemilik kartu.

Karena dalam layanan ini bank memiliki data nasabahnya sendiri, bank dapat menggunakannya untuk pengembangan produk lebih lanjut. Untuk mengetahui lebih jauh tentang layanan Lintasarta TPCM, silakan hubungi kami.

Lintasarta
|

Kartu Syariah, Cara Lain Partisipasi Bank dalam Ekonomi Syariah Nasional

Secara global, ekonomi syariah cenderung tumbuh pesat. Deloitte memperkirakan, pada 2022 mendatang, aset keuangan ekonomi syariah global akan mencapai USD 3,78 triliun, yang merupakan peningkatan 72% dibandingkan tahun 2016 saat aset keuangan tersebut baru bernilai USD 2,2 triliun. Aset bank syariah mengalami kenaikan sebanyak 1,5% pada periode 2018-2019, sementara bank konvensional hanya tumbuh 1%.

Sementara itu di Indonesia, pasar ekonomi syariah masih relatif tertinggal dibandingkan negara-negara lain, misalnya negara jiran Malaysia dan Arab Saudi. Padahal potensinya cukup besar, mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Sebagai contoh, sukuk global tahun 2019 (berdasarkan domisili) didominasi Malaysia yang mengambil porsi 49,7%, dan Arab Saudi berada di urutan kedua dengan porsi sebanyak 20,6%. Sementara itu, Indonesia hanya mengambil bagian sebanyak 7,3% sukuk. Proporsi pada asset under management (AUM) untuk dana syariah juga dipimpin oleh Malaysia dan Arab Saudi, dan Indonesia hanya memiliki aset sebanyak 3,2% dari total.

Bank di Indonesia dapat berpartisipasi dalam penumbuhan ekonomi syariah nasional, dengan menawarkan lebih banyak jasa dan produk syariah. Ini tidak hanya termasuk tabungan dan investasi (saham, reksadana, sukuk), tetapi juga pinjaman dan kartu kredit syariah.

Berita Lainnya

Layanan ‘one stop solution’ untuk perkembangan bisnis Anda!