Sebelum pandemi, Indonesia sudah bergerak kencang menuju adopsi ekonomi digital. Namun, pandemi yang mendorong orang-orang untuk menghindari tatap muka langsung telah memicu migrasi konsumen ke ekonomi digital. Berkembangnya ekonomi digital ini membuka peluang baru bagi bank untuk berpartisipasi dan meraih sumber pendapatan baru, di antaranya lewat produk kartu kredit.
Secara umum, 2020 bukanlah tahun yang menggembirakan bagi ekonomi Indonesia, yang mencatat resesi dengan kontraksi pada kuartal kedua (-5,23%) dan kuartal ketiga (-3,49%). Resesi ini disebabkan pandemi yang telah memukul banyak sektor perekonomian. Di sisi lain ekonomi digital menunjukkan tanda-tanda menggembirakan.
Baca juga: Branchless Bank, Potensi yang Belum Tergarap Optimal
Bain & Company dalam laporan e-Conomy SEA 2020 menyebutkan, ekonomi digital Indonesia melonjak di tahun 2020, dengan mencatat kenaikan 11% dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai ekonomi digital Indonesia pada 2020 mencapai US$ 44 miliar, melebihi US$ 40 miliar pada tahun 2019. Bain meramalkan ekonomi digital Indonesia akan terus tumbuh pesat, hingga US$ 124 miliar pada 2025.
Ekonomi digital di Indonesia antara lain mencakup e-commerce (perdagangan elektronik), media, perjalanan, dan layanan keuangan. Pada 2020 juga muncul dua sektor baru, yaitu kesehatan dan pendidikan.
Adapun sektor perjalanan dan transportasi terpukul pada 2020 karena pandemi. Namun, kontraksi dalam dua bidang tersebut diimbangi oleh melejitnya pertumbuhan sektor e-commerce dan media, yang masing-masing mengalami kenaikan sebesar 54% dan 24% jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, nilai GMV (Gross Merchandise Value) e-commerce pada tahun 2020 mencapai US$ 32 miliar, naik pesat dibandingkan tahun 2019 yang baru US$ 12 miliar. Sedangkan, nilai GMV media naik dari US$ 4,4 miliar dari US$ 3,5 miliar. Kenaikan dua sektor ini menutup penurunan sektor perjalanan (US$ 3 miliar pada 2020, dibandingkan US$ 10 miliar pada 2019) dan transportasi (US$ 5 miliar pada 2020, 4 miliar pada 2019).
Salah satu pendorong adopsi teknologi digital tentunya naiknya pengguna Internet, yang pada saat ini sudah mencapai 73,7% populasi atau 197 juta orang menurut data APJII tahun 2020. Survei yang sama juga menyebutkan bahwa sebagian besar pengguna Internet sudah merasa aman bertransaksi online (68,7%).
Kelebihan kartu kredit
Melejitnya ekonomi digital di Indonesia tidak diragukan lagi membuka peluang bagi lembaga keuangan dan perbankan. Salah satu peluang yang terbuka adalah partisipasi dalam sistem pembayaran. Para pelaku ekonomi digital biasanya mendukung berbagai cara pembayaran yang melibatkan bank, yaitu lewat transfer, kartu debit, ataupun kartu kredit.
Akan tetapi, salah satu kendala yang sempat dijumpai pelaku ekonomi digital adalah masih kurang matangnya sistem pembayaran yang ada di Indonesia. Perdagangan elektronik di luar negeri terutama didukung oleh ketersediaan pilihan pembayaran seperti kartu kredit dan debit. Namun di Indonesia, metode pembayaran seperti ini menemui hambatan, salah satunya karena penetrasi kartu kredit yang masih sangat rendah.
Baca juga: Ancaman keamanan data bank dan cara mengatasinya
Menurut data Bank Indonesia, jumlah kartu kredit yang beredar di Indonesia pada tahun 2020 hanya mencapai 17 juta kartu. Angka ini masih jauh dibandingkan jumlah nasabah di Indonesia. Sebagai perbandingan, Lembaga Penjamin Simpanan mencatat 303 juta rekening tabungan pada tahun 2020.
Tidak mengherankan bila banyak pelaku ekonomi digital yang mengakali keterbatasan inklusi keuangan ini dengan menawarkan metode pembayaran alternatif. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan dalam Statistik E-Commerce 2020 bahwa pada 2019, sebagian besar (73,04%) pelaku e-commerce menggunakan metode COD (Cash On Delivery), disusul oleh metode transfer bank (21,20%). Kartu kredit/debit hanya mendapatkan porsi 4,67%, sementara itu dompet elektronik (e-wallet) hanya memperoleh porsi sebesar 1,06%.
Di sisi lain, dominasi COD dalam jumlah transaksi ini belum tentu berarti metode pembayaran ini memimpin dalam nilai transaksi. Data dari JP Morgan menyebutkan bahwa 34% nilai transaksi perdagangan elektronik diraup oleh pemakai kartu (debit maupun kredit), disusul oleh transfer bank (26%). Ini berarti, meskipun penetrasi kartu masih sangat rendah di Indonesia, para pemiliknya sangat aktif bertransaksi di perdagangan elektronik.
Perkiraan Euromonitor International menunjukkan, transaksi dengan kartu kredit pada tahun 2019 mencapai Rp 313,7 triliun, yang dilakukan dalam 334 juta transaksi. Pada 2024 nilai transaksi diperkirakan akan melonjak menjadi Rp 399 triliun, dalam 370,8 juta transaksi.
Karena nilai transaksi menggunakan kartu masih jauh lebih tinggi dibandingkan metode pembayaran lainnya, bank yang ingin berpartisipasi dalam ekonomi digital tidak bisa mengabaikan peran kartu kredit. Bagi nasabah kartu kredit, bank dapat juga menawarkan perlindungan lebih baik terhadap penipuan (fraud), yang membuatnya lebih sesuai untuk transaksi online.
Solusi Lintasarta TPCM
Meskipun begitu, bank yang ingin menawarkan produk kartu kredit sering menghadapi beberapa kendala. Investasi besar dibutuhkan untuk implementasi sistem kartu kredit, dan setelah sistem tersebut berjalan, bank juga sering harus mengeluarkan biaya operasional yang cukup besar. Kepemilikan data nasabah juga belum terjamin bila menggunakan skema co-brand. Masalah ini bisa diatasi dengan layanan Third Party Card Management (TPCM) dari Lintasarta.
Baca juga: Risiko dan Tantangan Lembaga Perbankan dalam IT Outsourcing
Dengan layanan Lintasarta TPCM, bank dapat menekan dana yang dibutuhkan untuk investasi (mesin, software card management, dan infrastruktur lainnya), dan cukup membayar biaya operasional yang relatif rendah. Dengan intensifnya penggunaan kartu kredit dalam ekonomi digital, bank berpeluang memperoleh sumber pendapatan baru (bunga dan fee-based) yang akan tumbuh pesat. Karena dalam layanan ini, bank memiliki data nasabahnya sendiri, bank dapat menggunakannya untuk pengembangan produk lebih lanjut.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang layanan Lintasarta TPCM, silakan hubungi kami.