Pandemi COVID-19 telah meningkatkan minat pasien dan organisasi kesehatan untuk memanfaatkan teknologi Telemedicine (telemedis). Di Indonesia pada masa pandemi, kunjungan ke aplikasi kesehatan telah melonjak menjadi 15 kali lipat. Di Amerika Serikat, McKinsey menyebutkan bahwa 46% responden telah beralih dari konsultasi tatap muka ke konsultasi daring, menggunakan Telemedicine.
Telemedicine, yang merupakan pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, memang menjadi andalan di kala pandemi karena dapat mengurangi interaksi tatap muka.
Baca juga: Solusi Telemedicine di Tengah Pandemi Covid-19
Selain dapat digunakan untuk konsultasi oleh pasien, pertukaran informasi diagnosis dan pendidikan berkelanjutan untuk penyedia layanan kesehatan juga dapat difasilitasi oleh Telemedicine. Tidak mengherankan bila misalnya sebuah grup rumah sakit terkemuka merangkul teknologi Telemedicine dengan antusias. Kementerian kesehatan juga telah bekerja sama dengan berbagai startup penyedia layanan Telemedicine untuk menangani pandemi.
Di Indonesia secara umum adopsi teknologi digital oleh industri kesehatan diperkirakan akan memiliki masa depan cerah. Sebelum pandemi (2018), Frost dan Sullivan misalnya, sudah meramalkan bahwa di tahun 2022 pendapatan dari digital health akan mencapai US$ 726 juta, dengan pertumbuhan 60% per tahun.
Namun, tidak ada jaminan bahwa Telemedicine akan tetap bertahan setelah pandemi berlalu. Survei McKinsey di Amerika Serikat misalnya menyebutkan bahwa masih ada kekhawatiran dari pengguna layanan kesehatan tentang teknologi telekesehatan (yang juga mencakup telemedis) pada umumnya.
Keraguan ini tidak hanya menyangkut keamanan data, tetapi juga keefektifan dibandingkan dengan kunjungan tatap muka. Tidak mengherankan bila masih ada kesenjangan antara minat terhadap telekesehatan dan realisasi penggunaan (76% vs 46%).
McKinsey mengidentifikasi tiga faktor yang mengakibatkan kesenjangan antara minat terhadap adopsi teknologi kesehatan dan medis jarak jauh. Pertama, kesadaran tentang layanan telekesehatan (termasuk Telemedicine). Kedua, pengetahuan tentang layanan kesehatan yang cocok dilakukan secara virtual/jarak jauh, dan ketiga, aspek pembayaran dan asuransi dari layanan telemedicine. Untuk memastikan adopsi Telemedicine, kiranya penyelenggara layanan kesehatan perlu mengatasi ketiga masalah ini.
Di Indonesia, tenaga kesehatan di lapangan juga menemukan serangkaian masalah pada implementasi teknologi Telemedicine. Kesulitan yang dialami oleh tenaga kesehatan ini juga dapat menghalangi penerapan Telemedicine di masa depan.
Sosialisasi tentang layanan Telemedicine
Untuk mengatasi masalah kesadaran terhadap layanan Telemedicine, langkah yang diperlukan adalah sosialisasi. Pemerintah lewat Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan sudah gencar melakukan sosialisasi, terutama sejak pandemi berlangsung. Namun sosialisasi ini juga perlu dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah menawarkan layanan Telemedicine.
Sosialisasi juga dibutuhkan agar masyarakat dapat memahami kemampuan dan keterbatasan layanan Telemedicine. Sebagai contoh, pada layanan teledermatologi (Telemedicine di bidang kesehatan kulit), pasien kadang-kadang tidak terampil dalam mengambil gambar berkualitas baik. Kualitas gambar juga bisa terganggu karena koneksi Internet yang buruk.
Baca juga: Kapan Rumah Sakit Perlu Solusi Telemedicine Terpadu?
Padahal kualitas gambar sangat penting untuk akurasi diagnosis. Kesadaran tentang hal ini juga akan membantu pasien dan tenaga kesehatan untuk dapat mendayagunakan layanan Telemedicine dengan lebih optimal.
Identifikasi layanan medis yang sesuai untuk Telemedicine
Penyedia layanan perlu mengidentifikasi layanan kesehatan yang benar-benar dapat optimal untuk diberikan dari dari jarak jauh. Dengan demikian pasien akan lebih antusias merangkul Telemedicine.
Permenkes No 20/2019 menyebutkan beberapa layanan kesehatan yang dicakup oleh Telemedicine, yaitu teleradiologi, teleelektrokardiografi, teleultrasonografi, dan telekonsultasi klinis. Namun, permenkes tersebut juga membuka kemungkinan layanan medis lainnya, bila dimungkinkan oleh layanan teknologi yang ada.
Integrasi platform pembayaran dan asuransi
Layanan Telemedicine perlu mengintegrasikan dengan baik platform pembayaran dan asuransi, termasuk BPJS Kesehatan. Dengan demikian, pasien akan dapat membayar layanan kesehatan dengan cepat dan nyaman, sesuai dengan metode pembayaran pilihannya. Integrasi asuransi memastikan pasien tidak perlu khawatir dengan pembiayaan, karena sudah ditanggung oleh jasa asuransi kesehatan yang dimilikinya.
Kemudahan pemakaian dan keterampilan teknis
Teknologi Telemedicine haruslah mudah digunakan, baik oleh pasien maupun tenaga kesehatan. Pada kenyataannya aplikasi Telemedicine yang sulit digunakan bisa mengurangi kualitas layanan klinis yang diberikan tenaga kesehatan. Desain aplikasi yang sesederhana mungkin bisa mengurangi kemungkinan human error, yang dapat mengganggu proses konsultasi dan diagnosis.
Praktik di lapangan menunjukkan bahwa aplikasi yang tidak dirancang dengan baik bisa mengurangi penggunaan Telemedicine.
Lintasarta turut membantu industri kesehatan di Indonesia dalam mengembangkan layanan Telemedicine, melalui Lintasarta Telemedicine. Lintasarta Telemedicine juga didukung dengan platform yang dapat diintegrasikan dengan ragam layanan pembayaran melalui bank atau e-wallet dan asuransi.
Baca juga: Perbedaan Telemedicine dan Telehealth
Lintasarta Telemedicine mencakup layanan telekonsultasi yang memungkinkan pasien melakukan konsultasi jarak jauh dengan dokter dan ke depannya dapat melayani tele-USG, tele-EKG hingga teleradiologi.
Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana Lintasarta dapat membantu Anda mengembangkan layanan Telemedicine yang diadopsi dengan lebih luas, anda dapat menghubungi kami.