Teknologi Telemedicine (telemedis) menjanjikan peningkatan mutu dan akses terhadap layanan kesehatan. Namun, seperti terobosan baru lainnya, penerapan Telemedicine akan menghadapi masalah etika dan hukum yang belum tentu dihadapi sebelumnya.
Indonesia relatif terlambat dalam menerapkan teknologi Telemedicine, meskipun potensi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) sudah diakui oleh WHO pada 2005. Karena itu, dampak etika dan hukum dari teknologi telemedis juga belum banyak didalami pihak regulator.
Baca juga: Kapan Rumah Sakit Perlu Solusi Telemedicine Terpadu?
Sebagai contoh, Telemedicine yang masih terbilang baru di Indonesia kurang ditunjang oleh regulasi terkait, padahal regulasi ini sangat penting. Tidak hanya untuk memberikan kepastian hukum kepada penyelenggara jasa Telemedicine, tetapi juga perlindungan terhadap pasien dan masyarakat umum yang menggunakan jasa teknologi tersebut.
Peraturan yang mengesahkan pemakaian teknologi Telemedicine baru ditetapkan lewat Permenkes tahun 2019. Padahal beberapa negara sudah menjajaki penggunaan Telemedicine sejak tahun 1990-an.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) yang ingin memanfaatkan layanan Telemedicine tidak dapat meremehkan aspek etika dan hukum. Selain harus mematuhi peraturan yang sudah ada, Fasyankes juga harus menjaga kepercayaan pasien sehingga mereka tidak ragu memanfaatkan layanan Telemedicine yang sudah disediakan.
Kelegalan penyelenggara teknologi Telemedicine
Menurut Permenkes No 20 tahun 2019, layanan Telemedicine hanya dapat diselenggarakan oleh Fasyankes. Padahal tidak jarang layanan Telemedicine, seperti telekonsultasi, dilakukan lewat platform lain, seperti aplikasi e-Health (Halodoc, Alodokter). Permenkes tersebut juga hanya mengatur secara eksplisit Telemedicine antar-Fasyankes (rumah sakit, klinik, puskesmas).
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) No 74/2020 memberi izin dokter dan dokter gigi untuk memberikan pelayanan medis terhadap pasien menggunakan teknologi Telemedicine. Namun, peraturan ini hanya membolehkan dokter untuk memberi pelayanan lewat Fasyankes, dan tidak boleh secara langsung. Selain itu peraturan tersebut hanya berlaku untuk masa pandemi Covid-19.
Terlepas dari keraguan atas aspek legalnya, karena kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan, aplikasi dan situs web seperti ini mungkin lebih populer dibandingkan layanan Telemedicine resmi sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Perlu regulasi lebih baik
Negara-negara lain yang menyelenggarakan Telemedicine seperti Malaysia, India, dan Amerika Serikat telah mengatur Telemedicine lewat undang-undang. Pengaturan ini sudah dilakukan sejak tahun 1990-an (Malaysia dan Amerika Serikat) dan awal tahun 2000-an (India).
Undang-Undang terkait di Indonesia dengan Telemedicine, yaitu UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik belum mengatur khusus penggunaan Telemedicine.
Isu kurangnya regulasi ini tidak hanya terbatas di Indonesia. Meskipun beberapa negara sudah memberlakukan undang-undang khusus, secara umum regulasi tentang telemedicine masih belum tertata dengan baik.
Privasi dan kerahasiaan
Penyelenggara layanan kesehatan memiliki kewajiban untuk menjaga privasi data medis pasiennya. Ini termasuk komunikasi antara dokter dan pasien, serta data lain berupa gambar, teks, video yang terkait. Menjaga privasi dan kerahasiaan ini lebih mudah dilakukan bila tata laksana kesehatan dilakukan sepenuhnya di Fasyankes (rumah sakit atau klinik), tetapi masalah baru muncul ketika menerapkan teknologi Telemedicine.
Baca juga: Solusi Telemedicine di Tengah Pandemi Covid-19
Dengan teknologi Temeledicine, pasien, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya mungkin menggunakan layanan pihak ketiga, misalnya pengembang aplikasi Telemedicine atau aplikasi lainnya, maupun penyedia jasa Internet. Karena data pasien dikirim dan disimpan menggunakan koneksi, server atau storage yang tidak dikendalikan langsung oleh Fasyankes, bisa muncul kekhawatiran terhadap bagaimana perlindungan privasi dan kerahasiaan data tersebut.
Beberapa pihak (misalnya, Chaet dkk) menyarankan agar penyedia layanan kesehatan elektronik menjelaskan informasi pribadi apa saja yang dikumpulkan. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya juga harus memastikan bahwa mereka puas dengan kebijakan privasi penyedia layanan kesehatan elektronik (termasuk Telemedicine). Tentunya bila mereka tidak puas, pihak Fasyankes bisa menuntut penyedia layanan Telemedicine untuk memperbaiki kebijakannya.
Keamanan data
Masalah keamanan data medis pasien merupakan salah satu risiko yang tidak bisa diabaikan ketika menggunakan layanan Telemedicine. Kebocoran data bisa terjadi saat pengumpulan, pengiriman, dan penyimpanan. Meskipun pengembang aplikasi dan peranti terus berusaha meningkatkan keamanannya, pada kenyataannya masih ditemukan lubang keamanan.
Para peretas juga sudah mulai melirik data kesehatan sebagai sasaran serangan. Secara global, industri kesehatan merupakan sektor yang paling banyak menderita kerugian akibat kebocoran data pada 2020. Bila Fasyankes dan pengembang solusi teknologi Telemedicine tidak mempertimbangkan aspek pengamanan data dengan serius, secara etis penerapan teknologi ini bisa dipertanyakan.
Informed consent
Informed consent adalah proses pemberian izin atas tindakan tatalaksana medis terhadap pasien. Dokter dan tenaga medis hanya dapat melakukan intervensi medis setelah memastikan bahwa pasien memahami fakta, implikasi, dan konsekuensinya.
Bila diterapkan pada Telemedicine, ini berarti bahwa pasien harus sudah memberi izin pada tindakan seperti pengiriman informasi medis pasien. Ini tidak hanya mencakup telekonsultasi tetapi juga tindakan Telemedicine lain seperti Teleradiologi atau Tele-USG. Sebagai contoh, di Amerika Serikat permintaan izin ini harus dilakukan pada saat memulai penggunaan layanan Telemedicine. Izin bisa diberikan dalam bentuk formulir.
Kiranya sudah jelas bahwa solusi Telemedicine tidak hanya masalah keunggulan teknologi. Penyedia solusi Telemedicine haruslah tanggap dengan kebutuhan Fasyankes untuk tetap mematuhi etika dan regulasi yang berlaku. Karena itu Fasyankes hendaknya memilih penyedia solusi teknologi Telemedicine yang sudah berpengalaman dengan seluk-beluk industri kesehatan.
Baca juga: Beberapa Langkah untuk Memastikan Adopsi Telemedicine
Lintasarta menawarkan solusi Telemedicine yang mencakup layanan Tele-Konsultasi yang memungkinkan pasien melakukan konsultasi jarak jauh dengan dokter dan ke depannya juga mencakup Tele-USG, Tele-EKG hingga Tele-Radiologi. Dengan pengalaman puluhan tahun melayani industri, Lintasarta dapat membantu Anda menyediakan layanan Telemedicine yang memenuhi regulasi dan pertimbangan etika.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang Lintasarta Telemedicine, hubungi kami.