Pada 9 Maret 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengeluarkan edaran untuk melaksanakan metode pembelajaran daring selama pandemi dalam rangka mencegah penyebaran virus Covid-19. Metode tersebut akhirnya diaplikasikan, tidak hanya di tingkat pendidikan dasar, tetapi juga hingga ke perguruan tinggi.
Secara tidak langsung keputusan ini tentu saja mengubah kebiasaan dalam dunia pendidikan Indonesia. Sebab, apabila dulu aktivitas mengajar lebih banyak dilakukan secara konvensional atau tatap muka, kini hal tersebut mau tidak mau dijalankan secara daring.
Pada Mei 2020, The Conversation pernah melakukan riset terkait penerapan metode belajar daring terhadap 682 mahasiswa perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Dalam riset tersebut, tercatat, 94% mahasiswa mengapresiasi keputusan manajemen perguruan tinggi melaksanakan pembelajaran melalui metode daring selama pandemi.
Baca Juga: Lintasarta Smart Campus, Solusi Mendirikan Kampus Digital
Selain itu, sebanyak 60% responden juga mengungkapkan kualitas pembelajaran daring sama baiknya dengan tatap muka atau kelas biasa. Demikian halnya dengan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran daring tersebut yang diungkapkan lebih dari separuh responden (58%) sudah berjalan sangat baik.
Dari data di atas, dapat disimpulkan antusiasme dunia pendidikan dalam menyambut metode pembelajaran daring secara penuh cukup positif. Hanya saja, dalam perjalanannya, metode pembelajaran daring dalam dunia perguruan tinggi tentu masih memiliki beberapa hambatan.
Ditentukan faktor psikologis dan teknis
Secara umum, kuliah daring tentu memiliki lebih banyak manfaat, ketimbang kuliah secara tradisional atau tatap muka. Bahkan, metode kuliah daring sejak beberapa tahun lalu dianggap akan menjadi metode pembelajaran baru apabila mempertimbangkan proses digitalisasi yang terus berkembang, termasuk dalam dunia pendidikan.
Hanya saja, salah satu hambatan yang sering dihadapi adalah faktor psikologis dari para mahasiswanya. Dalam hasil riset “Gambaran Psikologis Mahasiswa dalam Proses Pembelajaran Selama Pandemi Covid-19” Universitas Muhammadiyah Semarang, misalnya, memperlihatkan 41% responden mengalami kecemasan ringan, dan 16,84% mengalami kecemasan sedang.
Demikian halnya dengan laporan “Deteksi Dini Kesehatan Mental Akibat Pandemi Covid-19” Unika Soegijapranata Semarang, yang melaporkan 63,6% mahasiswanya mengalami permasalahan kesehatan mental akibat pandemi. Dosen Psikologi Universitas Padjadjaran, Airin Triwahyuni, pun mengakui metode pembelajaran daring bisa memunculkan masalah baru bagi para mahasiswa jika tidak dijalankan dengan baik dan tepat.
Selain masalah kesehatan mental, kuliah daring juga bisa menjadi tidak maksimal karena faktor teknis, dalam hal ini adalah infrastruktur teknologi yang digunakan dalam pembelajaran. Akses Internet, misalnya, yang sering menjadi kendala bagi para mahasiswa, khususnya yang berada di daerah terpencil, di luar kota-kota besar di Indonesia.
Hasil survei lembaga riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bahkan sempat mengungkapkan, belum seluruh masyarakat dapat menjangkau akses Internet untuk melakukan pembelajaran daring. Dari total 2.201 responden, 24%-nya menyatakan tidak memiliki akses Internet.
Selain itu, beberapa mahasiswa pun terkadang memiliki kendala saat ingin mengunggah dan mengunduh materi hasil tugas maupun ketika menggunakan platform atau aplikasi pembelajaran jarak jauh yang masih sering ditemui. Beberapa hal inilah yang pada akhirnya secara tidak langsung membuat kuliah daring menjadi belum efektif.
Baca Juga: Data Universitas di Indonesia Bocor, Bagaimana Cara Jaga Keamanan Data Kampus?
Dukungan teknologi
Oleh karena itu, agar dapat berjalan lebih efektif, diperlukan kolaborasi antara pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan dan pemerintah. Beberapa hal yang bisa dilakukan tentu adalah menyiapkan infrastruktur teknologi yang baik agar reliabilitas aplikasi terjaga, misalnya jaringan Internet yang stabil, infrastruktur server yang memadai, hingga aplikasi dengan platform yang user-friendly.
Perguruan tinggi harus mempersiapkan untuk pembelajaran secara hybrid, yaitu sebagian siswa tatap muka di kelas, dan sebagian lagi tatap muka secara daring. SOP atau peraturan mengenai hybrid learning perlu dibuat oleh perguruan tinggi, sehingga transformasi pembelajaran sepenuhnya daring ke hybrid dapat berjalan dengan baik.
Selain itu, pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan juga harus menyediakan silabus dan modul pembelajaran berbasis daring yang maksimal, agar para sivitas akademika justru tidak menjadi cepat bosan, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kesehatan mental mereka.
Lintasarta, yang telah memiliki pengalaman lebih dari 33 tahun di Indonesia dalam dunia teknologi informasi, memiliki solusi untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut melalui layanan Lintasarta Smart Campus.
Baca Juga: Kampus Merdeka, Apa Itu dan Bagaimana Peran Teknologi Pendukungnya?
Lintasarta Smart Campus menggabungkan teknologi e-Learning dan Lintasarta Cloud, sehingga dapat diandalkan oleh mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi untuk melaksanakan kuliah daring. Dengan teknologi Lintasarta Smart Campus E-Learning, mahasiswa dan dosen akan lebih mudah pada saat menggunakan modul mata kuliah yang dapat diakses seluruh anggota sivitas akademika selama 24/7 melalui web browser yang terhubung dengan Internet.
Jika Anda tertarik untuk mengetahui lebih detail bagaimana solusi Lintasarta Smart Campus dapat membantu metode kuliah daring dalam perguruan tinggi, silakan hubungi kami di sini.