Lembaga jasa keuangan, mulai dari bank, asuransi, sampai jasa pembayaran pada dasarnya diwajibkan pemerintah untuk melakukan proses uji tuntas sebelum menarik nasabah baru (customer due diligence atau CDD).
Di sisi lain, pemerintah juga saat ini sedang giat-giatnya mempromosikan inklusi keuangan dengan mendorong dan mempermudah mengakses jasa keuangan resmi. Padahal proses CDD, yang sering juga sering disebut sebagai KYC (Know Your Customer) sebenarnya cukup merepotkan. Hal ini bisa menghalangi lembaga jasa keuangan mendapatkan nasabah/pelanggan baru.
Baca juga: Apa Itu Faktor Autentikasi dalam E-KYC?
Manfaat inklusi keuangan
Bila kita mengambil definisi Bank Dunia, inklusi keuangan adalah keadaan di mana warga dan bisnis dapat mengakses berbagai produk dan layanan keuangan sesuai dengan kebutuhannya. Produk layanan keuangan ini mencakup, misalnya, alat pembayaran dan tabungan, pinjaman (kredit), dan asuransi.
Bila semakin banyak warga yang dapat mengakses jasa keuangan, diharapkan taraf ekonominya juga meningkat. Produk tabungan memungkinkan rakyat untuk mengakumulasi kekayaan dan dana cadangan. Fasilitas kredit bisa digunakan untuk modal usaha, dan asuransi bisa digunakan untuk manajemen risiko. Asuransi bisa meringankan kerugian yang mungkin terjadi karena kecelakaan atau hal yang tak terduga lainnya.
Layanan pembayaran, baik lewat bank ataupun jasa keuangan lainnya (jasa pengiriman uang, dompet elektronik), bisa digunakan untuk menerima kiriman uang dari anggota keluarga yang merantau, maupun bantuan langsung tunai dari pemerintah.
ATM (Anjungan Tunai Mandiri) dan layanan keuangan tanpa kantor (agent banking) sudah memungkinkan nasabah untuk dapat mengakses layanan keuangan tanpa harus mendatangi kantor cabang. Namun, potensi yang lebih besar adalah layanan keuangan yang dilakukan lewat ponsel dan Internet.
Layanan seperti pembayaran, tabungan, pinjaman, investasi, dan asuransi dapat diakses dengan mudah lewat aplikasi ponsel. Transaksi dapat dilakukan dari mana saja, baik dari rumah maupun saat bepergian.
Pada praktiknya, ekspansi layanan keuangan lewat teknologi ini sering dihalangi oleh kewajiban uji tuntas calon nasabah. Bila menggunakan, uji tuntas nasabah secara konvensional seperti ini, proses akuisisi nasabah tidak bisa dilakukan sepenuhnya dari ponsel atau lewat Internet.
Di Indonesia, indeks inklusi keuangan memang sudah mencapai 85,1%, yang menunjukkan semakin banyak masyarakat yang mengakses layanan keuangan. Di sisi lain, menurut LPS hanya 49% warga negara dewasa yang sudah memiliki rekening bank. Ini menunjukkan bahwa masih perlu usaha ekstra untuk mendorong masyarakat dapat mengakses jasa keuangan.
Baca juga: Pemerataan Ekonomi yang Didorong e-KYC, Apa Itu Inklusi Keuangan?
KYC: Mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme
Lembaga keuangan rentan disalahgunakan untuk tindak pidana, seperti pencucian uang dan pendanaan aksi terorisme. Dalam PPATK tentang Penilaian Risiko Indonesia terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2021, bisa kita lihat bagaimana tindak kejahatan dilakukan lewat berbagai lembaga keuangan. Pencucian uang oleh mantan direktur utama salah satu perusahaan maskapai milik negara, misalnya menggunakan bank untuk transfer uang dan kredit. Sementara itu, mantan gubernur di daerah Sulawesi menyalahgunakan jasa asuransi untuk pencucian uang hasil tindak pidana korupsi.
Dibandingkan jasa keuangan yang lebih dulu mapan, produk keuangan baru seperti Fintech lebih rentan untuk disalahgunakan. Modus klasik dalam pencucian uang dan pendanaan korupsi adalah penggunaan identitas palsu dan peminjaman identitas orang lain.
Karena kerentanan ini, pemerintah berbagai negara telah membentuk lembaga satuan tugas tindakan keuangan (Financial Action Task Force atau FATF), atau dalam bahasa Prancis disebut sebagai Groupe d’action financière (GAFI). Lembaga yang didirikan pada tahun 1989 tersebut telah mengeluarkan berbagai rekomendasi kepada negara anggotanya untuk dapat mencegah tindak kejahatan pencucian uang. Sejak awal dekade 2000-an, mandat FATF juga telah diperluas untuk pencegahan pendanaan terorisme.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan ini adalah memeriksa terlebih dahulu identitas calon nasabah lewat uji tuntas (CDD). Dalam proses CDD ini lembaga jasa keuangan harus memeriksa dokumen pendukung yang diserahkan oleh calon nasabah. Dokumen ini harus mencantumkan, diantaranya nama, nomor identitas, alamat tempat tinggal, status perkawinan, dan pekerjaan. Calon nasabah juga wajib menginformasikan sumber dana, penghasilan, maksud dan tujuan pembuatan rekening, serta identitas penerima manfaat (ketika membeli polis asuransi).
Proses KYC yang dilakukan secara konvensional tidak hanya merepotkan, tetapi juga makan waktu. Studi MicroSave (2019) di Indonesia menemukan bahwa aktivasi rekening bisa memakan waktu sampai 3 hari di bank konvensional, dan ongkos KYC ini cukup tinggi karena dilakukan secara manual.
Baca juga: Apa Saja Keuntungan e-KYC untuk Online Customer Onboarding?
Mengamankan inklusi keuangan dengan Solusi e-KYC
Solusi yang bisa mendamaikan tarik-menarik tuntutan KYC dan inklusi keuangan adalah e-KYC (Electronic Know Your Customer). Berkat teknologi informasi, bank dan lembaga keuangan lainnya tetap dapat mengakuisisi nasabah baru tanpa berkompromi dengan tuntutan uji tuntas calon nasabah.
FATF sendiri sudah menyadari hal ini, dan merekomendasikan e-KYC (e-CDD) sebagai langkah yang bisa diambil oleh lembaga keuangan untuk tetap patuh pada regulasi internasional dalam memerangi tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Dengan solusi e-KYC, perusahaan dapat melakukan onboarding nasabah baru cukup dari ponselnya, tanpa harus menyelesaikan proses uji tuntas calon nasabah di kantor cabang. Hal ini juga memudahkan calon nasabah yang berada di pedesaan dan pelosok, yang mungkin jauh dari kantor cabang.
Di Indonesia, penggunaan e-KYC sudah diizinkan oleh regulator untuk berbagai sektor, tidak hanya untuk bank tetapi juga jasa keuangan lainnya, seperti asuransi, kredit, bahkan perdagangan aset kripto. Dengan demikian, penyedia jasa keuangan di Indonesia bisa menawarkan produk mereka dengan mudah lewat kanal digital.
Lintasarta menawarkan solusi e-KYC yang bisa digunakan oleh lembaga keuangan untuk pemastian identitas secara cepat dan mudah. Sistem e-KYC dari Lintasarta memiliki fitur-fitur Optical Character Recognition (OCR), facial recognition, dan liveness detection, video call, dan electronic signature (tanda tangan digital). Semua fitur tersebut memungkinkan proses akuisisi dilakukan dengan mudah, hanya dalam waktu 5 menit.
Fitur OCR atau pengenalan karakter optik memudahkan pengisian formulir pribadi secara otomatis dari kartu identitas (KTP). Facial recognition (pengenalan wajah) dapat mencocokkan wajah di kamera dengan foto KTP. Liveness detection memastikan bahwa orang yang dihadapi di depan ponsel benar-benar hidup, dan video call dapat digunakan untuk tanya jawab lebih lanjut serta dapat disimpan untuk diperiksa kembali.
Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana solusi e-KYC dari Lintasarta dapat membuka lebih jauh akses nasabah ke berbagai produk keuangan, silakan hubungi kami.