Akuisisi nasabah atau pelanggan baru jelas sangat penting buat penyedia jasa keuangan. Namun berbeda dengan perusahaan di sektor lainnya, penyedia jasa keuangan tidak begitu saja dapat melakukan hubungan usaha tanpa terlebih dahulu melakukan pengenalan pelanggan (know your customer atau KYC) yang juga disebut sebagai uji tuntas pelanggan (customer due diligence atau CDD).
Layanan keuangan rentan disalahgunakan misalnya untuk pencucian uang atau pendanaan aksi terorisme. Karena itu, regulator menuntut agar lembaga keuangan untuk melakukan pemastian terhadap calon nasabahnya.
Baca juga: Peran Perusahaan Fintech Sebagai Mitra Program Pemerintah
Pada kenyataannya, tidak semua orang berisiko sama melakukan kegiatan tindakan pencucian uang atau pendanaan aksi terorisme. Risiko ini akan berbeda-beda untuk tiap calon nasabah, atau untuk tiap jenis jasa keuangan.
Sebagai contoh, warga negara dengan pendapatan mendekati upah minimum regional risikonya akan lebih rendah dibandingkan dengan pejabat/politisi untuk melakukan tindak pidana pencucian uang. Sementara itu, risiko penyalahgunaan uang elektronik dengan saldo di bawah 1 juta rupiah tidak dapat disamakan dengan risiko rekening tabungan/deposito.
Regulator layanan keuangan membagi jenis uji tuntas yang dapat dilakukan menjadi uji tuntas standar (standard customer due diligence), uji tuntas sederhana (simplified CDD) dan uji tuntas lanjutan (enhanced due diligence atau EDD). Ketiga jenis uji tuntas ini dilakukan berdasarkan penilaian risiko untuk tiap nasabah pengguna jasa keuangan.
Perbedaan Jenis Customer Due Diligence
Standard CDD
Pada uji tuntas standar ini, penyedia jasa keuangan pada dasarnya melakukan identifikasi profil calon nasabah dan memeriksa identitas dan dokumen pendukung. Untuk calon nasabah perseorangan, identifikasi dilakukan dengan meminta dokumen seperti KTP/SIM/Paspor, yang memuat informasi nama, nomor identitas, alamat tempat tinggal, pekerjaan, dan status perkawinan.
Selain itu, penyedia jasa keuangan juga harus meminta informasi seperti sumber dana, penghasilan rata-rata per tahun, serta maksud dan tujuan hubungan usaha (misalnya, maksud pembuatan rekening bank), serta identitas penerima manfaat (jika ada, misalnya pada jasa asuransi).
Baca juga: Artificial Intelligence dan Berbagai Teknologi Baru untuk e-KYC
Bila saat proses ini ternyata calon nasabah atau penerima manfaat termasuk kriteria orang berisiko tinggi, lembaga jasa keuangan wajib melakukan uji tuntas lanjutan (enhanced due diligence). Sebaliknya, dalam beberapa kasus, proses uji tuntas ini dapat disederhanakan.
Simplified CDD
Simplified CDD (uji tuntas nasabah sederhana) bisa dilakukan bila risiko calon nasabah dinilai rendah. Menurut regulasi pemerintah, CDD sederhana juga dimungkinkan bila tujuan pembukaan rekening terkait dengan program pemerintah. Contoh program pemerintah ini adalah gerakan Indonesia menabung, layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai), program keluarga harapan, dan bantuan dana tunai.
Dalam uji tuntas sederhana, calon nasabah dapat menggunakan dokumen identitas yang memuat informasi pribadi yang lebih sedikit (hanya nama, nomor identitas, alamat, serta tempat dan tanggal lahir).
Selain itu, proses verifikasi identitas bisa dilakukan setelah pembuatan rekening/akun, atau bila saldo rekening melampaui jumlah tertentu. Ini misalnya bisa ditemukan pada layanan uang/dompet elektronik. Layanan dompet elektronik baru meminta pelanggannya untuk melakukan proses verifikasi bila hendak ingin menyimpan saldo di atas batas tertentu.
Enhanced Due Diligence
Bila ternyata calon nasabah dinilai berisiko tinggi, penyelenggara jasa keuangan diwajibkan untuk melakukan uji tuntas lanjutan. Calon nasabah seperti ini antara lain adalah orang-orang yang terekspos secara politik (politically exposed person atau PEP), atau warga negara asing yang berasal dari negara yang dinilai berisiko. Contoh PEP adalah politisi, pejabat negara, dan pejabat militer (baik domestik maupun asing).
Menurut pedoman yang dikeluarkan Bank Indonesia, penyedia jasa keuangan melakukan uji tuntas lanjutan antara lain dengan investigasi lebih lanjut tentang pekerjaan, daftar kekayaan, dan sumber dana dari calon nasabah tersebut. Lembaga jasa keuangan juga mungkin harus meminta klarifikasi ke otoritas terkait bila calon nasabah berasal dari negara berisiko tinggi. Terakhir, persetujuan atau penolakan pembuatan rekening harus diputuskan oleh direksi atau pejabat eksekutif.
Lebih cepat dengan e-KYC
Pemeriksaan identitas untuk keperluan uji tuntas calon nasabah ini bisa memakan waktu, terutama untuk uji tuntas lanjutan. Bila dilakukan secara manual, proses CDD akan mempersulit calon nasabah untuk membuka rekening/akun di lembaga jasa keuangan.
Beruntungnya, regulasi yang ada mengizinkan lembaga jasa keuangan melakukan proses uji tuntas ini secara elektronik, baik untuk CDD sederhana, standar, maupun lanjutan. Proses ini, yang disebut sebagai e-CDD atau e-KYC, dapat diselesaikan kurang dari 5 menit.
Baca juga: Menilik Manfaat e-KYC untuk Aplikasi Investasi Digital
Bila ternyata calon nasabah tersebut diidentifikasi berisiko tinggi, penyedia jasa keuangan harus melakukan EDD. Dalam hal ini, proses pengisian data dan pemastian identitas masih tetap bisa dilakukan secara elektronik. Hanya saja, proses pembukaan rekening belum tentu dapat diselesaikan dengan cepat, karena proses penelusuran lanjutan yang harus dilakukan.
Lintasarta menawarkan solusi e-KYC untuk membantu penyedia jasa keuangan melakukan uji tuntas dengan lebih cepat. Fitur-fiturnya mencakup optical character recognition (OCR) untuk mempercepat pengisian formulir, facial recognition untuk pencocokan foto KTP dengan wajah aslinya, liveness detection untuk pemastian orang hidup. Fitur video call (telepon video) dapat digunakan sebagai pengganti tatap muka langsung, dan tanda tangan digital untuk pemastian identitas.
Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana solusi Lintasarta e-KYC dapat membantu penyedia jasa keuangan, silakan hubungi kami.