Sekitar tiga tahun terakhir, praktik branchless bank makin banyak dilakukan. Hanya saja, potensi besarnya masih belum tergarap dengan optimal. Branchless bank secara sederhana dimaknai sebagai bentuk infrastruktur perbankan tanpa adanya kantor bank. Jadi kegiatan perbankan bisa dilakukan di kantor bank atautanpa harus datang ke kantor bank. Layanan ATM, internet banking, ataupun mobile banking adalah salah satu contoh branchless bank. Itu hanya sebagian kecil saja dari branchless bank dibandingkan dengan besarnya potensi pasar yang atau konsumen yang bisa didapatkan. Dua layanan disebut di atas masih terfokus di kota-kota besar saja di Indonesia. Sementara di daerah pelosok masih belum banyak ditemui. Selain itu, data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 2010 menyebutkan bahwa pemilik rekening di Indonesia sekitar 110 juta. Sementara penduduk total sekitar 240 juta jiwa. Perhitungan kasar, masih ada 130 juta orang yang belum memiliki rekening. Ini tentu potensi yang luar biasa. Hitungan optimis, masih ada sekitar 60 juta orang yang tidak memiliki rekening atau tidak memiliki akses ke bank atau modal. Kelompok ini yang umum disebut sebagai financial inclusion. Dengan kondisi itu, kelompok ini sulit untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya. Tidak adanya akses ke bank atau modal membuat mereka kesulitan untuk melakukan kegiatan-kegiatan produktif yang bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. “Sebenarnya, branchless bank itu didorong oleh Bank Indonesia(BI) agar kelompok ini (financial inclusion) bisa ditekan,” kata pengamat perbankan, Dr. Lana Soelistianingsih. Perlu Kerja Sama Banyak Pihak Meski secara definisi branchless bank terkesan sederhana, tetapi untuk mewujudkannya pihak bank perlu bekerja sama dengan banyak pihak. Untuk bisa menjangkau daerah terpencil, bank perlu bekerja sama dengan lembaga atau institusi yang bisa menjadi perpanjangan tangannya. Apakah itu koperasi, ritel, kantor pos, atau lembaga lain yang disepakati dan diakui. Pada lembaga itu lah semua kegiatan perbankan, menyimpan, memberikan pinjaman, atau transaksi lainnya bisa dilakukan. Aturan untuk bagi bank untuk melakukan kerja sama ini juga tidak terlalu sulit. Kerja sama ini diperlukan karena di Indonesia, bank kekurangan SDM untuk melakukan branchless bank. Meski demikian, terang Lana, sudah mulai ada juga bank yang sudah mulai melakukan branchless bank dengan mengadopsi pola yang dilakukan oleh shadow bank (rentenir). Mereka membekali petugasnya dengan EDC untuk melakukan fungsi dan layanan perbankan. Mereka mendatangi nasabahnya satu persatu. Mereka mempraktikkan ini di daerah pesisir selatan Jawa Barat. “Hasilnya cukup bagus. Pinjaman yan diberikan bisa diubah jadi kegiatan produktif. Dan yang lebih mengejutkan, tingkat NPL (non performing loan/kredit macet) hanya 0,9%,” jelasnya. Selain masih kurangnya SDM, kerja sama dengan pihak lain bagi bank untuk melakukan brachless bank juga untuk menekan biaya. Bank masih enggan menerapkan brachless bank di sektor mikro, terutama di daerah terpencil karena secara bisnis masih dinilai kurang menguntungkan dilihat dari skala dan volumenya yang kecil. “Padahal, ada bank yang sedari awal fokus di mikro dan mereka selalu sehat dan selalu meraih keuntungan yang besar,” ujar Lana yang selain menjadi salah satu dosen FEUI juga menjabat sebagai Chief Economist Head of Research di Samuel Aset Manajemen. Lana menyebut, branchless bank akan lebih efektif jika melibatkan masyarakat. Ini bisa dilakukan melalui kerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat. Karena tidak semua orang, terutama di pelosok,yang percaya dengan bank. Masih banyak juga yang tidak memiliki kepercayaan dan keyakinan diri yang cukup bahwa mereka patut atau layak berhubungan dengan bank, baik karena prosedurnya yang dianggap rumit atau karena mereka tidak punya rekening. “Memberikan edukasi soal bank dengan melibatkan tokoh masyarakat juga penting jika ingin membangun brachless bank,” tuturnya. Perlu Dikembangkan Teknologi Kolektif Teknologi, terutama teknologi informasi, ditegaskan Lana bukanlah menjadi kendala dalam membangun branchless bank. Terbukti dengan sudah mulai banyaknya layanan bank yang sebenarnya masuk kategori brachless bank. Teknologi ini diperlukan karena bagaimanapun monitoring menjadi hal penting dalam praktik brachless bank. “Monitoring ini penting karena branchless bank adalah perpanjangan tangan dari suatu bank. Tentu bank ingin tahu dan harus memonitor apakah tidak ada penyelewangan dalam praktik brachless bank nya,” kata alumni Vanderbilt University, Amerika Serikat ini. Hanya saja, Lana mengaku, dia sering mendapatkan keluhan soal mahalnya ongkos teknologi bagi perbankan. Untuk itu, dia menilai perlu dikembangkan sebuah teknologi untuk membangun branchless bank yang bersifat kolektif. Artinya, teknologi itu bisa digunakan oleh banyak bank secara bersama-sama untuk melakukan monitoring brachless bank-nya. Teknologi kolektif ini akan membuat biaya teknologi lebih efisien karena ditanggung bersama. “Saya yakin bisa. Asal bank itu mau kerja sama,” tukasnya. Sebenarnya, kendala bagi bank untuk membangun branchless bank, ungkap Lana, lebih banyak berasal dari karakter bank yang umumnya melihat calon nasabah dalam kelompok financial inclusion sebagai risiko, bukan potensi. Bank, dalam memberikan pinjaman, mendasarkan dengan 5C (Character, Capital, Capacity, Condition, Collateral). Mereka banyak menitik beratkan pinjaman pada collateral atau jaminan. Kelompok financial inclusion banyak yang memiliki sesuatu yang tidak masuk dalam kategori jaminan dalam bank. Mestinya, jika ingin membangun branchless bank, paradigma ini perlu diubah. Ini berbeda dengan shadow banking yang lebih melihat pada sisi non-collateral saat memberi pinjaman, meski dengan bunga yang tinggi. Ini yang membuat shadow bank tetap bertahan. “Bank yang ingin membangun brachless bank, harus banyak belajar dan meniru shadow bank yang sampai saat ini tetap bertahan,” paparnya. Lana yakin, jika branchless bank ini digarap optimal, peluang kelompok financial inclusion untuk melakukan kegiatan produktif karena akses ke bank atau modal makin besar. Kelompok ini juga tidak dimonopoli oleh shadow bank alias rentenir yang mencekik karena ada banyak pemain yang membuat ongkos produksi makin kecil. Pada akhirnya, itu akan membuat upaya menaikkan kesejahteraan dan menurunkan tingkat kemiskinan semakin nyata.