SUNPRIDE ditetapkan oleh Indonesia Brand Forum sebagai National Champion. Pengakuan atas upaya membangun merek yang dilakukan hampir selama dua dekade. “Membangun merek itu berbeda dengan memberi label. Itu kesalahan yang masih banyak terjadi pada perusahaan-perusahaan Indonesia,” kata Martin M. Widjaja, Managing Director PT. Sewu Segar Nusantara, pemilik merek SUNPRIDE diawal pembicaraan. Memberikan label hanya sekadar atau berhenti pada menempelkan nama di produk yang dihasilkan tanpa menyadari soal kualitas dan konsistensi. Begitu kualitas turun atau tidak konsisten, langsung hancur itu merek. Sementara membangun merek jauh lebih sulit dan kompleks dari itu. Martin menyebutnya sebagai upaya terus menerus tanpa henti dari hulu ke hilir dengan menjaga standar yang telah ditetapkan. Status sebagai National Champion ditegaskan dia bukanlah sebuah prestasi akhir atas apa yang sudah dilakukan SUNPRIDE. Awalnya, sekitar 15 tahun lalu, SUNPRIDE diniatkan untuk merek pisang cavendish yang diekspor. Itu sempat dilakukan hingga tahun 2002 sampai hasil dari perkebunan perusahaan tidak memadai untuk ekspor. Ini karena menurunnya luas perkebunan produktif akibat penyakit yakni tinggal 400 hektar. Tetapi, kejadian ini memberikan pelajaran berharga bagi PT Sewu Segar Nusantara bagaimana menjadi pemain buah segar yang baik. Setidaknya ada dua hal penting yang didapat, bagaimana membuat supply chain yang baik serta terbukanya pemahaman bahwa pasar buah segar dalam negeri masih sangat terbuka lebar dan hampir tidak disentuh. Yang kedua ini membuahkan prinsip jangan mengeskpor kalau pasar dalam negeri belum penuh. “Penuhi dulu cangkir kita. Kalau sudah penuh dan meluber, baru kita eskpor,” tutur Martin. Fokus kemudian ke pasar dalam negeri. Martin mengaku diawal, betapa susahnya masuk ke pasar dalam negeri. Ada dua hal yang menjadi penghalang. Pertama, belum banyak orang Indonesia yang terbiasa dengan buah segar dalam kemasan yang bermerek. Kedua, perlu usaha yang tak kenal lelah untuk memperkenalkan barang baru yang asing. Barang awal yang dijual adalah pisang cavendish untuk ekspor itu. Bentuknya yang berbeda, mulus, hampir seperti buah plastik membuat orang susah menerima. Belum lagi soal rasa, orang Indonesia masih terbiasa dengan pisang ambon. “Pekerjaan kita waktu awal itu ya buka lapak di pasar-pasar. Semua hampir kita kerahkan untuk berjualan. Target kita awal pokoknya pisang terjual saja,” cerita Martin. Waktu berjalan dan merek itu mulai dikenal dan diminati sehingga permintaan makin banyak. Salah satu modal penting yang tidak disadari adalah karena diniatkan untuk ekspor, maka pisang itu memiliki standar yang tinggi. Lalu, mulailah dibangun sistem supply chain yang baik, sejak hulu ke hilir. Tantangan terbesarnya, adalah bagaimana membangun sistem itu agar supply bisa bertemu pas dengan demand. Buah segar punya rentang waktu pendek. Jika supply kurang, konsumen marah, sementara jika supply berlebihan, harga turun. Banyaknya permintaan membuat SUNPRIDE tidak hanya menjual pisang. Sejak 2005, jenis buah diperbanyak. Collective Knowlegde Martin menyebut, upaya membangun merek itu tidak bisa dilakukan oleh produsen sendiri. Semua yang yang terlibat harus bersama-sama membangunnya. Dalam penyediaan buah, selain kebun sendiri, SUNPRIDE juga bekerja sama dengan para petani. Sementara dalam berjualan, banyak berhubungan dengan para retailer. “Semua itu kita perlakukan layaknya bagian perusahaan kita sendiri. Disini disebutnya partner,” tuturnya. Sejak awal, nilai-nilai yang dipegang teguh oleh SUNPRIDE sehingga mencapai posisi sebagai market leader dalam bisnis buah segar adalah standar yang tidak bisa ditawar, kontinuitas ketersediaan buah dan inovasi tiada henti. Nilai-nilai inilah yang kemudian terus dikenalkan dan ditanamkan pada para partnernya. Nilai-nilai ini yang menjadi landasan praktik sehari-hari para partner dan SUNDPRIDE dalam menjalankan aktivitasnya. Keberhasilan membangun kesamaan nilai ini membuat SUNDPRIDE lebih memiliki pengetahuan bersama yang terus tumbuh. Jika petani memiliki pengetahuan soal buah A, misalnya lebih baik jika ditanam dengan stek, misalnya, maka dia akan senang membaginya ke SUNPRIDE untuk kemudian dibagi ke semua petani. Demikian pula juga dari hasil riset kemudian SUNPRIDE menemukan inovasi soal bagaimana cara menanam yang baik, maka akan dibagi petani. “Filosofi kita harus sama dengan mereka, value kita sebagian besar adalah value mereka. Ini membuat kemudian, semuanya bisa saling memberi dan berbagi, jadi collective knowledge kita,” paparnya. Collective knowledge ini diakui Martin membuat upaya untuk menjaga merek yang sudah dibangun menjadi tanggung jawab bersama dan lebih optimal. Selain itu, SUNPRIDE juga terus mendekatkan diri ke konsumen., bersedia untuk mendengarkan keinginan dan keluhan mereka. Bagaimanapun juga, memberikan kepuasan kepada konsumen tanpa henti adalah tujuan akhir membangun merek. Cara paling mudah untuk mendekatkan diri dengan konsumen adalah memasang iklan. Semua cara dan media iklan telah dicoba oleh SUNPRIDE. Namun yang paling efektif adalah metode below the line dengan menemui konsumen secara langsung. Saat menemui konsumen itu, SUNPRIDE Girl yang dilatih selama dua tahun memberikan penjelasan layaknya seorang kawan atas buah yang dihasilkan. Mereka juga tidak pernah pelit utuk memberikan sampel bagi para konsumen untuk mencobanya. “Untuk buah segar, tasting is believing,” tegas Martin. Akhirnya, Martin menyebutkan bahwa usaha membangun merek itu pada prinsipnya adalah memberikan sesuai standar yang ditetapkan sejak awal produk diproduksi atau jasa diberikan hingga akhir di konsumen. Tidak itu saja, memberikan yang sesuai standar itu tidak pernah boleh berhenti sembari terus melakukan peningkatan-peningkatan. Hal yang mudah dikatakan tapi sudah dijalankan.
|
Lintasarta
Tasting is Believing (Sunpride)
