Di zaman digital seperti sekarang, semakin banyak perusahaan dan organisasi yang bergantung pada data center untuk operasional bisnis mereka sehari-hari. Hal ini memang bagus karena data-data penting mereka tersimpan secara lebih aman dan dapat diakses dari mana saja serta kapan saja. Namun, di sisi lain para penyedia layanan data center harus memutar otak lebih keras. Pasalnya, semakin banyak perusahaan dan organisasi yang menggunakan data center mereka, ada faktor risiko yang lebih besar jika terjadi downtime. Penyedia layanan mau tak mau harus meminimalisir terjadinya downtime tersebut. Jika terjadi downtime 1-2 menit saja, perusahaan Anda bisa mengalami kerugian besar. Nah, terjadinya downtime pada data center sering dikorelasikan dengan availability atau ketersediaan layanan data center. Idealnya, sebuah data center harus memiliki 100% availability, bahwa layanan IT harus available setiap waktu. Masalahnya, hal tersebut bukan hanya tak realistis, tapi juga bisa saja tidak perlu karena tidak semua perusahaan membutuhkan 100% availability pada data center. Perusahaan diminta untuk melakukan penilaian mendalam terhadap kebutuhan bisnis mereka demi mengetahui kebutuhan availability data center yang tepat. Lalu, bagaimana availability pada data center diukur? Memahami Availability secara Lebih Dalam Pada data center, availability merujuk pada sejauh mana suatu sistem atau komponen dapat beroperasi dan diakses saat dibutuhkan. Jika hendak menilai availability dengan mata uang, artinya Anda harus mengetahui tentang biaya lahan per square foot yang dibutuhkan dalam membangun data center. Jika Anda dapat mengestimasi jumlah lahan yang dibutuhkan untuk keperluan data center, Anda bisa menghitung biaya konstruksi untuk data center sesuai dengan tingkat availability-nya. 4 Jenis Data Center Berdasarkan Availability Menurut Anixter, sebuah penyedia layanan teknologi dan supply chain, availability dari data center dapat terbagi menjadi empat kategori, yaitu: Tier 1 Data center jenis ini memiliki kualitas yang paling rendah karena hanya menggunakan satu jalur kelistrikan dan pendinginan. Dengan tingkat availability mencapai 99,761%, data center tier 1 biasanya digunakan untuk bisnis kecil. Idealnya, downtime maksimal untuk data center jenis ini mencapai 28,8 jam. Tier 2 Mirip seperti tier 1, data center tier 2 juga hanya menggunakan satu jalur kelistrikan dan pendinginan. Bedanya, tier 2 telah dilengkapi dengan komponen redundansi. Idealnya, tingkat availability-nya mencapai 99,841% dengan lama downtime maksimal 22 jam. Tier 3 Data center jenis ini menggunakan lebih dari satu jalur sistem kelistrikan dan pendinginan, tetapi jalur yang aktif biasanya hanya satu. Komponen redundansinya juga telah ada. Banyak perusahaan besar menggunakan data center tier 3 karena bisa dikelola secara bersamaan. Tingkat availability-nya mencapai 99,982% dengan downtime maksimal hanya 1,6 jam. Tier 4 Tidak hanya menggunakan lebih dari satu jalur sistem kelistrikan dan pendinginan, seluruh jalur pada tier 4 ini juga aktif. Data center tier 4 juga memiliki komponen redundansi dan cukup toleran terhadap kerusakan. Tingkat availability-nya mencapai 99,995% dengan downtime maksimal hanya 0,04 jam. Dapat disimpulkan bahwa idealnya, data center Anda (milik sendiri maupun colocation) memiliki 100% availability atau zero downtime. Walaupun terdengar mudah, menjaga availability memerlukan investasi yang tidak sedikit. Sebagai IT Manager, Anda tidak pernah bisa menggaransi uptime Anda pasti 100%. Namun yang dapat Anda lakukan adalah memastikan bahwa semua infrastruktur, operasional dan kalkulasi bisnis pada data center Anda sudah dirancang dan diimplementasi untuk menjaga availability setinggi mungkin. Photo Credit: c1.staticflickr.com